Perkembangan Psikososial Dewasa Tengah (35-60 tahun)
Pendekatan Teori Klasik
Masa dewasa tengah pernah dianggap sebagai masa yang relatif tetap dan tidak berubah (Papalia, Olds & Feldman, 2009). Bahkan Freud sendiri memandang tidak ada gunanya psikoterapi bagi mereka yang usianya di atas 50 tahun karena Freud yakin kerpibadian mereka telah terbentuk secara permanan (Papalia, Olds & Feldman, 2009). Frued memandang bahwa orang dewasa usia 50-an itu relatif tetap kepribadiannya karena telah matang dari segi usianya.
Carls Rogers dan Maslow yang beraliran humanis memandang bahwa usia paruh baya adalah kesempatan untuk perubahan positif seseorang. Maslow (1986) mengatakan bahwa aktualisasi diri hanya bisa dicapai dengan kematangan, sedangkan Rogers memandang bahwa fungsi manusia seutuhnya memerlukan proses membawa diri untuk harmonis dengan pengalaman sepenjang hayat (Papalia, Olds & Feldman, 2009).
Terjadi perdebatan tentang stabilitas dan perubahann di usia paruh baya ini. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa perkembangan psikososoial melibatkan kedua hal tersebut (Franz & Helson, 1997).
Model Tahapan Normatif
Generatif vs Stagnasi
Menurut Erikson (1986) masa dewasa tengah ini ditandai dengan adanya krisis genaratif vs stagnasi. Orang dewasa yang sudah berhasil adalah mereka yang mampu memberikan ‘sesuatu’ kepada keturunan mereka untuk melangsungkan generasinya, bagi orang dewasa yang tidak mampu melakukannya akan mengalami stagnasi atau kemandegan. Orang dewasa memamerkan kemampuan generatifnya dikala mereka mampu menyediakan bimbingan pada orang yang lebih muda dan menjauhkan diri dari mementingkan diri sendiri (Weiten & Llyod, 2006).
Ada berbagai cara orang dewasa menunjukkan kegeneratifannya. Di antaranya adalah melalui proses bilogis seperti hamil dan melahirkan anak, melalui jalur parental seperti memberikan asuhan dan bimbingan kepada anak-anaknya, melalui jalur pekerjaan seperti orang tua mengembangkan kehalian kerja yang diturunkan ke generasi berikutnya, dan melalui jalur kultural seperti mempertahankan atau mengembangkan budaya yang turun-temurun. Orang dewasa yang generatif adalah mereka yang melibatkan diri pada kelanjutan dan perbaikan masyarakat secara keseluruhan melalui hubungannya dengan generasi berikutnya (Santrock, 1995).
Erikson mengungkapkan bahwa kemauan orang paruh baya untuk bekerja secara sukarela adalah bagaian dari generatif komunal (Papalia, Olds & Feldman, 2009). Penelitian MIDUS menemukan bahwa perilaku bekerja secara sukarela meningkat antara masa dewasa dini dan tengah, kemudian sedikit menurun di usia 55 tahun dan meningkat lagi di usia 65 tahun. (Hart, Southerland danAtkins, 2003). Orang dewasa memiliki pencapaian pendidikan yang tinggi dan terhubung dengan komunitas religius untuk melakukan pekerjaan sukarela, sebagaimana orang dengan sikap empati dan prososial yang tinggi. Di Indonesia sendiri banyak terdapat perkumpulan religius yang justru didominasi oleh kaum dewasa tengah dan akhir (pengajian ibu-ibu misalnya).
Indivisuasi dan Transenden; Jung
Carl Gustav Jung memberikan suatu konsep bagi orang paruh baya. Konsep tersebut dinamakannya individuasi, yaitu kemunculan diri sejati seseorang melalui keseimbangan atau integrasi bagian-bagaian kepribadian yang bertentangan meliputi bagian-bagian yang sebelumnya diabaikan. Jung mengatakan orang dewasa memusatkan hidupnya terhadap keluarga dan masyarakat serta mengembangkan berbagai aspek kepribadian yang akan membantu mereka mencapai tujuan eksternal. Perempuan menekankan pencapainnya pada keekspresifan dan pengasuhan sedangkan laki-laki berorientasi pada prestasi; pada usia paruh baya keduanya mengalihkan obesisi mereka ke spiritialitas (Papalia, Olds & Feldman, 2009).
Teori transformasi Gould
Roger Gould percaya bahwa masa paruh usia sama bergejolaknya dengan masa remaja (Santrock, 1995). Gould melakukan penelitiannya di tahun 1975,1978, 1980 dan 1994. Dia meneliti 524 laki-laki dan perempuan. Dia percaya bahwa dalam usia 20 (peralihan dari remaja menuju dewasa muda), kita mengalami peran baru; pada usia 30-an kita mulai terjepit dengan tanggung jawab dan di usia 40-an orang menyadari urgensi bahwa hidupnya kini sedang menuju akhir. Guild mengatakan bahwa rekasi argensi ini adalah rekasi alami dan membantu kita menuju kematangan. Penelitian ini menuai kritik karena mengandung bias, tidak dilakukan uji reliabilitas penilaian klinis, tanpa dianalisis melalui statistik dan memiliki bias kelas menengah (Santrock, 1995).
Teori Valliant dan Levinson
Valliant dan Levinson keduanya menjelaskan perlaihan besar yang terjadi pada masa paruh baya. Orang pada usia 30-an memperjuangkan pekerjaan, mengatur kembali kehidupan secara drastis di usia 40-an dan ke kematangan dan stabilitas yang relatif di usia 50-an. Valliant mengatakan difierensiasi gender berkurang di usia ini dan laki-laki cenderung lebih mengasuh dan ekspresif (Papalia, Olds & Feldman, 2009). Levinson mengatakan laki-laki pada usia paruh baya menjadi kurang terobsesi dengan prestasi pribadi dan lebih peduli pada hubungan; menunjukkan kegeneratifannya dengan menjadi mentor bagi yang muda (Papalia, Olds & Feldman, 2009).
Menurut Levinson peralihan ke dewasa tengah cukup membuat sress sehingga dia menyebutnya sebagai krisis.
Jam Sosial
Perkembangan kepribadian orang dewasa tidak bergantung pada usia dibandingkan dengan peristiwa hidup yang penting, masa paruh baya ditandai dengan peran-peran sosial seperti melepaskan anak, menjadi kakek-nenek, perubahaan pekerjaan dan menghadapi pensiun (Papalia, Olds & Feldman, 2009).
Gender, Kebudayaan Usia Paruh Baya
Teori-teori perkemabnagn masa dewasa memiliki bias laki-laki (Deutsch, 1991). Contohnya penelitian. Fokus utama penelitian adalah para karir dan pekerja yang kebanyakan di antara mereka adalah laki-laki (Santrock, 1995). Teori perkembangan dewasa kurang menyampaikan persoalan-persoalan perempuan seperti hubungan, independensi dan kasih s ayang (Gilligan, 1982). Bahkan Santrock (1995) mengatakan teori-teori perkembangan kurang menekankan arti penting membesarkan dan merawat anak. Faktanya teori-teori tersebut memang memiliki bias lak-laki.
Rangkaian peristiwa hidup pada perempuan sekarang berubah. Tidak semua perempuan setelah lulus SMU kemudian bekerja, menikah, memiliki anak dan menjadi orang tua hingga kemudian pensiun. Perempuan sekarang ada yang mementingkan karir atau malah pendidikan dahulu sebelum memutuskan untuk menikah.
Perempuan USA terobsesi dengan keharusan awet muda, cantik dan menarik; perempuan harus muda sedangkan laki-laki boleh tua (Santrock, 1995). Dalam suatu penelitian di USA didapati sebagian besar perempuan yang paruh baya paling tidak ingin, 10 tahun lebih muda dari usai sebenarnya (Rossi, 1990). Bagaimana dengan perempuan paruh baya di Indonesia?.
Penerimaan usia paruh baya perempuan di kebudayaan non-industri bergantung pada modernitas kebudayaan dan pandangan mengenai peran-peran gender (Santrock,1995). Perempuan paruh baya di negara indsutri lebih diuntungkan daripada budaya nonindustri (Brown, 1985). Perempuan paruh baya di negara industri memiliki lebih banyak waktu luang karena pengasuhan anak sudah bisa dikerjakan orang lain.
Varisasi Individual
Penelitian-penelitian yang dilakukan adalah melihat persamaan universal daripada perbedaan-perbedaan. Padahal, setiap individu memiliki perbedaan dan unik. Teori-teori fase Erikson, Gould, Levinson dan Leviant pun sama. Variasi individual merupakan sebuah cara untuk melihat perkembangan kepribadian pada perbedaan-perbedaan bukan persamaan (Meyer, 1991; Schooler, 1991).
Persoalan Usia Paruh Baya
Krisis Paruh Baya (midlife crisis)
Krisis Paruh Baya (midlife crisis) merupakan masa hidup penuh stress yang dipicu oleh pengkajian dan evaluasi kembali selama masa lalu seseorang (Papalia, Olds & Feldman, 2009). Selanjutnya oleh Pappalia krisis ini dikonseptualkan sebagai krisis indentitas dan menyebutnya masa remaja kedua. Dikatakan bahwa orang dewasa sudah menyadari bahwa umurnya berkurang dan tidak mampu memenuhi impian masa muda atau pemenuhan impian masa muda yang kurang memuaskan. Orang paruh baya tahu bahwa apabila ingin mengubah keadaan itu, mereka harus bertindak cepat (Levinson, 1978,1980,1986,1996). Levinson mengatakan bahwa masa kacau paruh baya ini tidak tehindarkan sama halnya dengan orang-orang yang berjuang untuk kebutuhan mengatur ulang hidup mereka.
Sekarang istilah krisis paruh baya tidak akurat (Lachman, 2004). Pasalnya beberapa orang dewasa malah merasakan bahwa di usia paruh baya justru masa jaya mereka. Di usia ini mereka telah mapan secara fisik, kognitif, mental, sosioemosianal, ekonomi dan pengalamannya dalam menata kehidupan. Di Indonesia mengenal yang namanya ‘puber kedua’. Istilah ini digunakan bagi orang yang di usia paruh baya yang merasa mapan bahkan muda kembali sehingga perilakunya seperti anak remaja. Memasuki paruh baya mungkin bisa menimbulkan stress, tetapi tidak lebih dari beberapa peristiwa pada dewasa awal saja (Chiriboga, 1997; Werthington, et .al, 2004).
Perkembangan Identitas
Apakah anggapan Freud tentang usia dewasa yang relatif tetap terbukti? ataukah masih relatif berubah layaknya remaja?. Meskipun Erikson menempatkan masa pencarian identiatas terjadi pada masa remaja, namun dia juga meyakini bahwa identitas seseorang terus berkembang (Papalia, Olds & Feldman, 2009). Para ilmuwan perkembangan mengatakan bahwa proses pembentukan identiatas adalah inti dari masa dewasa (Mc. Adams & St. Aubin, 1992).
Model proses identitas Whithbourne yang mendasari modelnya dari Erikson, Marcia dan Piaget memandang identitas sebagai suatu skema teratur dimana melalui skema itulah berbagai pengalaman diinterpretasikan (Withbourne & Connolly, 1999). Identitas merupakan hasil dari berbagai proses persepsi diri yang diakumulasikan baik sadar ataupun tidak (Papalia, Olds & Feldman, 2009). Berbagai pepsepsi ini akan terus berkembang seiring bertambahnya usia dan pengalaman.
Ketika seseorang menemukan sesuatu yang baru kemudian menyesuaikannya dengan konsep diri yang sudah ada, maka orang tersebut telah mengalami asimilasi identitas. Jika ternyata pengalaman yang baru tersebut tidak sesuai dengan konsep diri yang sudah ada dan menyesuaikannya (konsep diri) dengan pengalaman nyata, maka orang tersebut telah melakuakan akomodasi identitas.
Kedua cara mendeskripsikan identitas itu bisa berjalan beriringan. Kesimbangan antara asimilasi dan akomodasi melahirkan gaya identitas (identity style). Orang yang lebih banyak menggunakan gaya asimilasi daripada gaya akomodasi, memiliki gaya identitas asimilatif. Demikian sebaliknya, orang yang lebih banyak menggunakan gaya akomodasi dibandingkan gaya asimilasi, memiliki gaya identitas akomodatif. Orang yang selalu mengasimilasi akan kaku, tidak fleksibel dengan pengalaman, semuanya harus sesuai dengan apa yang ada di dalam konsepnya. Orang yang akomodatif adalah adalah orang yang lemah, mudah goyah, dan rentan terhadap kririk; identitas mereka mudah melemah (Papalia, Olds & Feldman, 2009). Karena konsep diri mereka berubah-ubah. Gaya identitas yang ideal adalah gaya identitas seimbang dimana identitas cukup fleksibel untuk berubah ketika aman, tetapi terstruktur ketika sampai pada satu titik di saat setiap pengalaman baru menyebabkan seseorang mempertanyakan berbagai asumsi dasar mengenai mereka (Withbourne, Connilly, 1999).
Psikologi Naratif
Psikologi naratif memandang bahwa perkembangan diri sebagai proses berkesinambungan dari pengkonstruksian kisah hidup seseorang-sebuah kisah dramatis membantu memahami kehidupan seseorang (Papalia, Olds & Feldman, 2009). Masa paruh baya sering kali merupakan masa untuk merevisi hidup (Mc. Adams, 1993). Psikologi naratif memberikan gambaran bahwa usia paruh baya adalah usia untuk merenungi, memikirkan bahkan memperbaiki kehidupan sebelumnya. Akan muncul rasa bangga bagi keberhasilan yang sudah diraih di masa sebelumnya dan akan ada rasa penyesalan terhadap sesuatu yang belum bisa mereka capai.
Psikologi naratif memberikan fungsi eksploratif dimana tertuju pada pemahaman diri dan orang lain yang matang dan rumit serta fungsi instrinsik yang berfungsi untuk kesejahteran dan kebahagiaan keduanya; diri dan orang lain (Papalia, Olds & Feldman, 2009). Berbagai penelitian menemukan bahwa orang-orang yang matang dan bahagia cenderung merencanakan masa depan mereka melalui tujuan pertumbuhan yang relevan (Bauer & Mc. Admas) dan menyusun berbagai kenangan otobiografi mereka (Papalia, Olds & Feldman, 2009).
Tindakan generatif dapat membuat perbedaan dan hasil kehidupan seseorang dapat lebih lama dari diri sendiri (MC. Admas, 2001; Mc. Adams & de St. Aubin, 1992). Orang dewasa yang kehidupannya banyak memberikan sumbangsih bagi orang lain (generatif) akan berbeda dengan mereka yang hanya menjadi beban. Kehidupan mereka menjadi lebih bermakna. Mungkin ini yang dinamakan hidup yang berkah di masyarakat kita. Orang dewasa yang generatif sering kali menceritakan sebuah kisah komitmen (Mc. Adams et.al 1997). Biasanya orang ini telah menikmati kehormatan hidup dan ingin meringankan beban orang lain (Papalia, Olds & Feldman, 2009). Orang dewasa seperti ini akan menyibukkan diri dengan kegiatan sosial dan cenderung untuk memberikan teladan ke generasi sebelumnya.
Identitas dan Peran Gender
Gender yang menggambarkan peran pada “saya seorang ayah, saya seorang ibu” memiliki peranan penting di usia paruh baya ini. Perubahan peran dan hubungannya pada masa paruh baya bisa mempengaruhi identitas gender, tetapi revisi masa paruh baya yang paling dalam mungkin internal, dengan cara seseorang memahami dan memikirkan mengenai dirinya sendiri (Josselson, 2003). Orang dewasa dituntut dengan peran baru mereka sebagai pengasuh anak-anak atau cucu mereka. Perubahan peran ini menurut Jung adalah sebagai proses individuasi.
Gottman menyatakan bahwa pada budaya tradisonal peran gender pada upaya untuk memastikan kesejahteraan anak-anak yang sedang tumbuh (Papalia, Olds & Feldman, 2009). Seorang ayah sebagai pemberi nafkah dan ibu sebagai pengasuh. Pada usia ini terjadi penyeberangan gender (gender crossover) dimana seorang ayah bisa menunjukkan sisi feminim dan ibu bisa menunjukkan sisi maskulinnya.
Kejahteraan Psikologis
Emosi
Penelitian MIDUS menunjukkan adanya penurunan secara bertahap dalam hal emosi negatif, seperti marah, takut dan gelisah. (Papalia, Olds & Feldman, 2009). Penelitian MIDUS lainnya menunjukkan bahwa perempuan lebih sedikit memiliki emosi negatif di sepanjang rentang usianya, dibandingkan laki-laki (Mrozcek, 2004). Emosi positif seperti rasa gembira meningkat pada laki-laki paruh baya dibandingkan dengan yang perempuan, kemudian meningkat tajam pada keduanya lebih khusus pada laki-laki di masa dewasa akhir (Papalia, Olds & Feldman, 2009). Orang dewasa paruh baya sudah memiliki pengalaman yang beragam dan hal ini menjadikan mereka lebih bijak dalam mengahadapi masalah, berbeda dengan orang di usia sebelumnya.
Kepuasan Hidup
Dari survey di berbagai belahan dunia di dapatkan bahwa kebanyakan orang pada semua rentang usia, semua jenis kelamin dan seluruh ras melaporlan merasa puas dengan hidup mereka (Myers, 2000; Myers & Dienner. 1995, 1996; Walker, Skowronski dan Thompson 2003). Hal ini merupakan temuan bahwa emosi positif yang berkaitan dengan kesenangan cenderung lama bertahan dibandingkan dengan emosi negatif (Papalia, Olds & Feldman, 2009). Kebanyakan orang memiliki keterampilan copyng yang baik (Walker et al., 2003).
Di antara subsampel responden MIDUS yang paruh baya , kesejahteraan sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik. Kemampuan untuk menikmati hidup, perasaan positif mengenai diri dan ketentraman tertentu dalam memandang peristiwa hidup (Papalia, Olds & Feldman, 2009). Jadi bagi orang yang paruh baya keadaan fisik yang masih berfungsi baik memberikan rasa kesejahteraan begitupun dengan kemampuan untuk bersyukur dan menikmati hidup.
Generatifitas dan Kesejahteraan Psikososial
Di awal telah disebutkan bahwa orang dewasa tengah yang geneartif adalah mereka yang mampu memberikan ‘sesuatu’ bagi generasi sebelumnya. Jung mengatakan generatif adalah tanda kematangan individu. Generatif juga menyangkut dengan hubungan dengan orang lain. Orang yang generatif secara komunal adalah mereka yang mampu memberikan teladan dan mau terlibat dalam kegiatan sosial.
Kepuasan Pernikahan
Menikah memberikan manfaat besar seperti dukungan sosial, kesehatan, dan ekonomi yang baik (Gallo, Troxel, Mathews, dan Kuller, 2003) dan akumulasi kekayaan (Wilmoth, Koso, 2002) serta kesehatan fisik dan mental yang lebih baik. (Brown, Bulanda, dan Lee, 2005). Jadi dengan menikah orang akan ada dukungan dari pasangan baik dukungan fisik, mental dan keuangan. Orang dewasa yang menikah akan mendapatkan perhatian dari isteri di saat sakit, akan ada tempat berbagi bila ada masalah. Hal ini tidak akan ditemukan bagi mereka yang tidak menikah. Kepuasan pernikahan dipengaruhi oleh kondisi mental tiap-tiap psangan (Papalia, Olds & Feldman, 2009). Dalam penelitian terhadap 774 pasangan menikah, tingkat kecemasan, trauma dan depresi mempengaruhi tingkat kepuasan pernikahan. Bagi pasangan yang tidak mampu berbagi maka akan rentan terjadi perceraian. Merawat kebutuhan psikologis pasangan dengan segera dapat mencegah perceraian (Whisman, Uebelacker dan Weinstock, 2004).
Peranan Orang Dewasa Tengah
Dengan kematangannya orang dewasa memiliki peranan yang penting dalam hal hubungannya dengan anak, pasangan, orang tua dan masyarakat. Orang dewasa menjadi pengasuh dan pembimbing bagi anak-anaknya, menjalin pertemanan dengan yang seusianya, menjadi pengasuh bagi orang tua mereka yang lanjut usia, dan membesarkan cucu bagi mereka yang sudah menjadi kakek atau nenek.
DAFTAR PUSTAKA
Papalia, Olds & Fieldman. Human Development Jilid II. trans. Marwensndy, Brian. Jakarta: Salemba Humanika, 2009.
Santrock, John. W. Life Span Development Jilid II. trans. Chusairi, Ahmad. Jakarta: Erlangga. 2002.
Weiten, Wayne & Lloyd A. Margaret. Pshychology Applied to Modern Life 8th Edition. Las Vegas: Thompson Wadswotrh-University of Nevada.
s