Rabu, 08 Juni 2011

Perkembangan Psikososial Dewasa Tengah (35-50 tahun)


Perkembangan Psikososial Dewasa Tengah  (35-60  tahun)

Pendekatan Teori Klasik
Masa dewasa tengah pernah dianggap sebagai masa yang relatif tetap dan tidak berubah (Papalia, Olds & Feldman, 2009). Bahkan Freud sendiri memandang tidak ada gunanya psikoterapi bagi mereka yang usianya di atas 50 tahun karena Freud yakin kerpibadian mereka telah terbentuk secara permanan (Papalia, Olds & Feldman, 2009). Frued memandang bahwa orang dewasa usia 50-an itu relatif tetap kepribadiannya karena telah matang dari segi usianya.
Carls Rogers dan Maslow yang beraliran humanis memandang bahwa usia paruh baya adalah kesempatan untuk perubahan positif seseorang. Maslow (1986) mengatakan bahwa aktualisasi diri hanya bisa dicapai dengan kematangan, sedangkan Rogers memandang bahwa fungsi manusia seutuhnya memerlukan proses membawa diri untuk harmonis dengan pengalaman sepenjang hayat (Papalia, Olds & Feldman, 2009).
Terjadi perdebatan tentang stabilitas dan perubahann di usia paruh baya ini. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa perkembangan psikososoial melibatkan kedua hal tersebut (Franz & Helson, 1997). 
Model Tahapan Normatif
Generatif  vs Stagnasi
Menurut Erikson (1986) masa dewasa tengah ini ditandai dengan adanya krisis genaratif vs stagnasi. Orang dewasa yang sudah berhasil adalah mereka yang mampu memberikan ‘sesuatu’ kepada keturunan mereka untuk melangsungkan generasinya, bagi orang dewasa yang tidak mampu melakukannya akan mengalami stagnasi atau kemandegan. Orang dewasa memamerkan kemampuan generatifnya dikala mereka mampu menyediakan bimbingan pada orang yang lebih muda dan menjauhkan diri dari mementingkan diri sendiri (Weiten & Llyod, 2006).
Ada berbagai cara orang dewasa menunjukkan kegeneratifannya. Di antaranya adalah melalui proses bilogis seperti hamil dan melahirkan anak, melalui jalur parental seperti memberikan asuhan dan bimbingan kepada anak-anaknya, melalui jalur pekerjaan seperti orang tua mengembangkan kehalian kerja yang diturunkan ke generasi berikutnya, dan melalui jalur kultural seperti mempertahankan atau mengembangkan budaya yang turun-temurun. Orang dewasa yang generatif adalah mereka yang melibatkan diri pada kelanjutan dan perbaikan masyarakat secara keseluruhan melalui hubungannya dengan generasi berikutnya (Santrock, 1995).
Erikson mengungkapkan bahwa kemauan orang paruh baya untuk bekerja secara sukarela adalah bagaian dari generatif komunal  (Papalia, Olds & Feldman, 2009). Penelitian MIDUS menemukan bahwa perilaku bekerja secara sukarela meningkat antara masa dewasa dini dan tengah, kemudian sedikit menurun di usia 55 tahun dan meningkat lagi di usia 65 tahun. (Hart, Southerland danAtkins, 2003). Orang dewasa memiliki pencapaian pendidikan yang tinggi dan terhubung dengan komunitas religius untuk melakukan pekerjaan sukarela, sebagaimana orang dengan sikap empati dan prososial yang tinggi. Di Indonesia sendiri banyak terdapat perkumpulan religius yang justru didominasi oleh kaum dewasa tengah dan akhir (pengajian ibu-ibu misalnya).
Indivisuasi dan Transenden; Jung
Carl Gustav Jung memberikan suatu konsep bagi orang paruh baya. Konsep tersebut dinamakannya individuasi, yaitu kemunculan diri sejati seseorang melalui keseimbangan atau integrasi bagian-bagaian kepribadian yang bertentangan meliputi bagian-bagian yang sebelumnya diabaikan. Jung mengatakan orang dewasa memusatkan hidupnya terhadap keluarga dan masyarakat serta mengembangkan berbagai aspek kepribadian yang akan membantu mereka mencapai tujuan eksternal. Perempuan menekankan  pencapainnya pada keekspresifan dan pengasuhan sedangkan laki-laki berorientasi pada prestasi; pada usia paruh baya keduanya mengalihkan obesisi mereka ke spiritialitas  (Papalia, Olds & Feldman, 2009).
Teori transformasi Gould
Roger Gould percaya bahwa masa paruh usia sama bergejolaknya dengan masa remaja (Santrock, 1995). Gould melakukan penelitiannya di tahun 1975,1978, 1980 dan 1994. Dia meneliti 524 laki-laki dan perempuan. Dia percaya bahwa dalam usia 20 (peralihan dari remaja menuju dewasa muda), kita mengalami peran baru; pada usia 30-an kita mulai terjepit dengan tanggung jawab dan di usia 40-an orang menyadari urgensi bahwa hidupnya kini sedang menuju akhir. Guild mengatakan bahwa rekasi argensi ini adalah rekasi alami dan membantu kita menuju kematangan. Penelitian ini menuai kritik karena mengandung bias, tidak dilakukan uji reliabilitas penilaian klinis, tanpa dianalisis melalui statistik dan memiliki bias kelas menengah (Santrock, 1995).
Teori Valliant dan Levinson
Valliant dan Levinson keduanya menjelaskan perlaihan besar yang terjadi pada masa paruh baya. Orang pada usia 30-an memperjuangkan pekerjaan, mengatur kembali kehidupan secara drastis di usia 40-an dan ke kematangan dan stabilitas yang relatif di usia 50-an. Valliant mengatakan difierensiasi gender berkurang di usia ini dan laki-laki cenderung lebih mengasuh dan ekspresif (Papalia, Olds & Feldman, 2009). Levinson mengatakan laki-laki pada usia paruh baya menjadi kurang terobsesi dengan prestasi pribadi dan lebih peduli pada hubungan; menunjukkan kegeneratifannya dengan menjadi mentor bagi yang muda (Papalia, Olds & Feldman, 2009). 
Menurut Levinson peralihan ke dewasa tengah cukup membuat sress sehingga dia menyebutnya sebagai krisis.
Jam Sosial
Perkembangan kepribadian orang dewasa tidak bergantung pada usia dibandingkan dengan peristiwa hidup yang penting, masa paruh baya ditandai dengan peran-peran sosial seperti melepaskan anak, menjadi kakek-nenek, perubahaan pekerjaan dan menghadapi pensiun (Papalia, Olds & Feldman, 2009).

Gender, Kebudayaan Usia Paruh Baya
Teori-teori perkemabnagn masa dewasa memiliki bias laki-laki (Deutsch, 1991). Contohnya penelitian. Fokus utama penelitian adalah para karir dan pekerja yang kebanyakan di antara mereka adalah laki-laki (Santrock, 1995). Teori perkembangan dewasa kurang menyampaikan persoalan-persoalan perempuan seperti hubungan, independensi dan kasih s ayang (Gilligan, 1982). Bahkan Santrock (1995) mengatakan teori-teori perkembangan kurang menekankan arti penting membesarkan dan merawat anak.  Faktanya teori-teori tersebut memang memiliki bias lak-laki.
Rangkaian peristiwa hidup pada perempuan sekarang berubah. Tidak semua perempuan setelah lulus SMU kemudian bekerja, menikah, memiliki anak dan menjadi orang tua hingga kemudian pensiun. Perempuan sekarang ada yang mementingkan karir atau malah pendidikan dahulu sebelum memutuskan untuk menikah.
Perempuan USA terobsesi dengan keharusan awet muda, cantik dan menarik; perempuan harus muda sedangkan laki-laki boleh tua (Santrock, 1995). Dalam suatu penelitian di USA didapati sebagian besar perempuan yang paruh baya paling tidak ingin, 10 tahun lebih muda dari usai sebenarnya (Rossi, 1990). Bagaimana dengan perempuan paruh baya di Indonesia?.
Penerimaan usia paruh baya perempuan di kebudayaan non-industri bergantung pada modernitas kebudayaan dan pandangan mengenai peran-peran gender (Santrock,1995). Perempuan paruh baya di negara indsutri lebih diuntungkan daripada budaya nonindustri (Brown, 1985). Perempuan paruh baya di negara industri memiliki lebih banyak waktu luang karena pengasuhan anak sudah bisa dikerjakan orang lain.
Varisasi Individual
Penelitian-penelitian yang dilakukan adalah melihat persamaan universal daripada perbedaan-perbedaan. Padahal, setiap individu memiliki perbedaan dan unik. Teori-teori fase Erikson, Gould, Levinson dan Leviant pun sama. Variasi individual merupakan sebuah cara untuk melihat perkembangan kepribadian pada perbedaan-perbedaan bukan persamaan (Meyer, 1991; Schooler, 1991).

Persoalan Usia Paruh Baya
Krisis Paruh Baya (midlife crisis)
Krisis Paruh Baya (midlife crisis) merupakan masa hidup penuh stress yang dipicu oleh pengkajian dan evaluasi kembali selama masa lalu seseorang (Papalia, Olds & Feldman, 2009). Selanjutnya oleh Pappalia krisis ini dikonseptualkan sebagai krisis indentitas dan menyebutnya masa remaja kedua. Dikatakan bahwa orang dewasa sudah menyadari bahwa umurnya berkurang dan tidak mampu memenuhi impian masa muda atau pemenuhan impian masa muda yang kurang memuaskan. Orang paruh baya tahu bahwa apabila ingin mengubah keadaan itu, mereka harus bertindak cepat (Levinson, 1978,1980,1986,1996). Levinson mengatakan bahwa masa kacau paruh baya ini tidak tehindarkan sama halnya dengan orang-orang yang berjuang untuk kebutuhan mengatur ulang hidup mereka.
Sekarang istilah krisis paruh baya tidak akurat (Lachman, 2004). Pasalnya beberapa orang dewasa malah merasakan bahwa di usia paruh baya justru masa jaya mereka. Di usia ini mereka telah mapan secara fisik, kognitif, mental, sosioemosianal, ekonomi dan pengalamannya dalam menata kehidupan. Di Indonesia mengenal yang namanya ‘puber kedua’. Istilah ini digunakan bagi orang yang di usia paruh baya yang merasa mapan bahkan muda kembali sehingga perilakunya seperti anak remaja. Memasuki paruh baya mungkin bisa menimbulkan stress, tetapi tidak lebih dari beberapa peristiwa pada dewasa awal saja (Chiriboga, 1997; Werthington, et .al, 2004).
Perkembangan Identitas
Apakah anggapan Freud tentang usia dewasa yang relatif tetap terbukti? ataukah masih relatif berubah layaknya remaja?. Meskipun Erikson menempatkan masa pencarian identiatas terjadi pada masa remaja, namun dia juga meyakini bahwa identitas seseorang terus berkembang (Papalia, Olds & Feldman, 2009). Para ilmuwan perkembangan mengatakan bahwa proses pembentukan identiatas adalah inti dari masa dewasa (Mc. Adams & St. Aubin, 1992).
Model proses identitas Whithbourne yang mendasari modelnya dari Erikson, Marcia dan Piaget memandang identitas sebagai suatu skema teratur dimana melalui skema itulah berbagai pengalaman diinterpretasikan (Withbourne & Connolly, 1999). Identitas merupakan hasil dari berbagai proses persepsi diri yang diakumulasikan baik sadar ataupun tidak (Papalia, Olds & Feldman, 2009). Berbagai pepsepsi ini akan terus berkembang seiring bertambahnya usia dan pengalaman.
Ketika seseorang menemukan sesuatu yang baru kemudian menyesuaikannya dengan konsep diri yang sudah ada, maka orang tersebut telah mengalami asimilasi identitas. Jika ternyata pengalaman yang baru tersebut tidak sesuai dengan konsep diri yang sudah ada dan menyesuaikannya (konsep diri) dengan pengalaman nyata, maka orang tersebut telah melakuakan akomodasi identitas.
Kedua cara mendeskripsikan identitas itu bisa berjalan beriringan. Kesimbangan antara asimilasi dan akomodasi melahirkan gaya identitas (identity style). Orang yang lebih banyak menggunakan gaya asimilasi daripada gaya akomodasi, memiliki gaya identitas asimilatif. Demikian sebaliknya, orang yang lebih banyak menggunakan gaya akomodasi dibandingkan gaya asimilasi, memiliki gaya identitas akomodatif. Orang yang selalu mengasimilasi akan kaku, tidak fleksibel dengan pengalaman, semuanya harus sesuai dengan apa yang ada di dalam konsepnya. Orang yang akomodatif adalah adalah orang yang lemah, mudah goyah, dan rentan terhadap kririk; identitas mereka mudah melemah (Papalia, Olds & Feldman, 2009). Karena konsep diri mereka berubah-ubah. Gaya identitas yang ideal adalah gaya identitas seimbang dimana identitas cukup fleksibel untuk berubah ketika aman, tetapi terstruktur ketika sampai pada satu titik di saat setiap pengalaman baru menyebabkan seseorang mempertanyakan berbagai asumsi dasar mengenai mereka (Withbourne, Connilly, 1999).
Psikologi Naratif
Psikologi naratif memandang bahwa perkembangan diri sebagai proses berkesinambungan dari pengkonstruksian kisah hidup seseorang-sebuah kisah dramatis membantu memahami kehidupan seseorang  (Papalia, Olds & Feldman, 2009).  Masa paruh baya sering kali merupakan masa untuk merevisi hidup (Mc. Adams, 1993). Psikologi naratif memberikan gambaran bahwa usia paruh baya adalah usia untuk merenungi, memikirkan bahkan memperbaiki kehidupan sebelumnya. Akan muncul rasa bangga bagi keberhasilan yang sudah diraih di masa sebelumnya dan akan ada rasa penyesalan terhadap sesuatu yang belum bisa mereka capai.
Psikologi naratif memberikan fungsi eksploratif dimana tertuju pada pemahaman diri dan orang lain yang matang dan rumit serta fungsi instrinsik yang berfungsi untuk kesejahteran dan kebahagiaan keduanya; diri dan orang lain (Papalia, Olds & Feldman, 2009). Berbagai penelitian menemukan bahwa orang-orang yang matang dan bahagia cenderung merencanakan masa depan mereka melalui tujuan pertumbuhan yang relevan (Bauer & Mc. Admas) dan menyusun berbagai kenangan otobiografi mereka  (Papalia, Olds & Feldman, 2009).
Tindakan generatif dapat membuat perbedaan dan hasil kehidupan seseorang dapat lebih lama dari diri sendiri (MC. Admas, 2001; Mc. Adams & de St. Aubin, 1992). Orang dewasa yang kehidupannya banyak memberikan sumbangsih bagi orang lain (generatif) akan berbeda dengan mereka yang hanya menjadi beban. Kehidupan mereka menjadi lebih bermakna. Mungkin ini yang dinamakan hidup yang berkah di masyarakat kita. Orang dewasa yang generatif sering kali menceritakan sebuah kisah  komitmen (Mc. Adams et.al 1997). Biasanya orang ini telah menikmati kehormatan hidup dan ingin meringankan beban orang lain (Papalia, Olds & Feldman, 2009). Orang dewasa seperti ini akan menyibukkan diri dengan kegiatan sosial dan cenderung untuk memberikan teladan ke generasi sebelumnya.
Identitas dan Peran Gender
Gender yang menggambarkan peran pada “saya seorang ayah, saya seorang ibu” memiliki peranan penting di usia paruh baya ini. Perubahan peran dan hubungannya pada masa paruh baya bisa mempengaruhi identitas gender, tetapi revisi masa paruh baya yang paling dalam mungkin internal, dengan cara seseorang memahami dan memikirkan mengenai dirinya sendiri (Josselson, 2003). Orang dewasa dituntut dengan peran baru mereka sebagai pengasuh anak-anak atau cucu mereka. Perubahan peran ini menurut Jung adalah sebagai proses individuasi.
Gottman menyatakan bahwa pada budaya tradisonal peran gender pada upaya untuk memastikan kesejahteraan anak-anak yang sedang tumbuh (Papalia, Olds & Feldman, 2009). Seorang ayah sebagai pemberi nafkah dan ibu sebagai pengasuh. Pada usia ini terjadi penyeberangan gender (gender crossover) dimana seorang ayah bisa menunjukkan sisi feminim dan ibu bisa menunjukkan sisi maskulinnya.
Kejahteraan Psikologis
Emosi
Penelitian MIDUS menunjukkan adanya penurunan secara bertahap dalam hal emosi negatif, seperti marah, takut dan gelisah. (Papalia, Olds & Feldman, 2009). Penelitian MIDUS lainnya menunjukkan bahwa perempuan lebih sedikit memiliki emosi negatif di sepanjang rentang usianya, dibandingkan laki-laki (Mrozcek, 2004). Emosi positif seperti rasa gembira meningkat pada laki-laki paruh baya dibandingkan dengan yang perempuan, kemudian meningkat tajam pada keduanya lebih khusus pada laki-laki di masa dewasa akhir (Papalia, Olds & Feldman, 2009). Orang dewasa paruh baya sudah memiliki pengalaman yang beragam dan hal ini menjadikan mereka lebih bijak dalam mengahadapi masalah, berbeda dengan orang di usia sebelumnya.
Kepuasan Hidup
Dari survey di berbagai belahan dunia di dapatkan bahwa kebanyakan orang pada semua rentang usia, semua jenis kelamin dan seluruh ras melaporlan merasa puas dengan hidup mereka (Myers, 2000; Myers & Dienner. 1995, 1996; Walker, Skowronski dan Thompson 2003). Hal ini merupakan temuan bahwa emosi positif yang berkaitan dengan kesenangan cenderung lama bertahan dibandingkan dengan emosi negatif (Papalia, Olds & Feldman, 2009). Kebanyakan orang memiliki keterampilan copyng yang baik (Walker et al., 2003).
Di antara subsampel responden MIDUS yang paruh baya , kesejahteraan sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik. Kemampuan untuk menikmati hidup, perasaan positif mengenai diri dan ketentraman tertentu dalam memandang peristiwa hidup (Papalia, Olds & Feldman, 2009). Jadi bagi orang yang paruh baya keadaan fisik yang masih berfungsi baik memberikan rasa kesejahteraan begitupun dengan kemampuan untuk bersyukur dan menikmati hidup.
Generatifitas dan Kesejahteraan Psikososial
Di awal telah disebutkan bahwa orang dewasa tengah yang geneartif adalah mereka yang mampu memberikan ‘sesuatu’ bagi generasi sebelumnya. Jung mengatakan generatif adalah tanda kematangan individu. Generatif juga menyangkut dengan hubungan dengan orang lain. Orang yang generatif secara komunal adalah mereka yang mampu memberikan  teladan dan mau terlibat dalam kegiatan sosial.
Kepuasan Pernikahan
Menikah memberikan manfaat besar seperti dukungan sosial, kesehatan, dan ekonomi yang baik (Gallo, Troxel, Mathews, dan Kuller, 2003) dan akumulasi kekayaan (Wilmoth, Koso, 2002) serta kesehatan fisik dan mental yang lebih baik. (Brown, Bulanda, dan Lee, 2005). Jadi dengan menikah orang akan ada dukungan dari pasangan baik dukungan fisik, mental dan keuangan. Orang dewasa yang menikah akan mendapatkan perhatian dari isteri di saat sakit, akan ada tempat berbagi bila ada masalah. Hal ini tidak akan ditemukan bagi mereka yang tidak menikah. Kepuasan pernikahan dipengaruhi oleh kondisi mental tiap-tiap psangan (Papalia, Olds & Feldman, 2009). Dalam penelitian terhadap 774 pasangan menikah, tingkat kecemasan, trauma dan depresi mempengaruhi tingkat kepuasan pernikahan. Bagi pasangan yang tidak mampu berbagi maka akan rentan terjadi perceraian. Merawat kebutuhan psikologis pasangan dengan segera dapat mencegah perceraian (Whisman, Uebelacker dan Weinstock, 2004).
Peranan Orang Dewasa Tengah
Dengan kematangannya orang dewasa memiliki peranan yang penting dalam hal hubungannya dengan anak, pasangan, orang tua dan masyarakat. Orang dewasa menjadi pengasuh dan pembimbing bagi anak-anaknya, menjalin pertemanan dengan yang seusianya, menjadi pengasuh bagi orang tua mereka yang lanjut usia, dan membesarkan cucu bagi mereka yang sudah menjadi kakek atau nenek.


DAFTAR PUSTAKA

Papalia, Olds & Fieldman. Human Development Jilid II. trans. Marwensndy, Brian. Jakarta: Salemba Humanika, 2009.
Santrock, John. W. Life Span Development Jilid II. trans. Chusairi, Ahmad. Jakarta: Erlangga. 2002.
Weiten, Wayne & Lloyd A. Margaret. Pshychology Applied to Modern Life 8th Edition. Las Vegas: Thompson Wadswotrh-University of Nevada.





s

Kamis, 02 Juni 2011

Teori Belajar Sosial Walter Mischel

Teori Belajar Sosial Kognitif Walter Mischel 
                      
     a.    Biografi Walter Mischel
Lahir di Wina, Austria pada 22 Februari 1930. Bersama kakaknya Teodore awalnya jadi filsuf tumbuh di lingkungan kondusif tak jauh dari rumah Freud. Masa indahnya terenggut ketika Nazi menginvansi Austria pada 1938. Kemudian Mischel dan kelurganya pindah ke USA sampai akhirnya menetap di Broklyn sampai masa SD dan SMP-nya. Sebelum sempat kuliah, ayahnya sakit dan Walter terpaksa bekrja serabutan sampai akhirnya dia berhasil kuliah di New York University. Dia sangat tertarik pada seni lukis juga patung dan berbagi hidup menjadi seniman, juga mahasiswa psikologi di Greenwich Village.
Saat perkuliahan ia muak dengan dosen yang selalu mengajarkan teori psikologi melalui eksperimen tikus yang menurutnya jauh dari manusia. Setelah lulus dia melanjutkan program MA psikologi klinis City College of New York. Sembari mengerjakan tesisnya, dia bekerja sosial di kawasan kumuh Lower East Side, sebuah pekerjaan yang membuatnya ragu dengan manfaat psikoanalitik. Perkembangan psikologi sosial kognitifnya memuncak saat mengambil studi doktoral di Ohio State University pada 1953-1956. Kala itu di kampusnya terbagi menjadi dua kubu, kubu Julian Rotter dan kubu George Kelly. Dia lebih memilih tidak memihak manapun. Namun belajar dari keduanya. Rotter mengajarkan pentingnya riset sedangkan Kelly mengajarinya eksperimen manusia haruslah memperhatikan aspek kognitif dan perasaan.
Selanjutnya Mischel mengajar 2 tahun di Colorado University. Lalu bergabung dengan Departemen Hubungan Sosial di Havard dan akhirnya menetap di Columbia University. Di Havard ia bertemu Harriet Nerlove dan menikahinya.
Karya pertamanya adalah Personality and Assesment (1968). Dia menerangkan bahwa pada kondisi yang tepat orang sanggup memprediksi perilaku mereka tanpa harus menjalani tes. Sifat adalah alat prediksi perilaku yang sangat lemah karena situasilah yang mempengaruhi perilaku. Karya terbaiknya adalah Introduction to Personality (1971) dan sudah direvisi ke-7 pada 2004.
b.    Latar Belakang Teori Sistem Kepribadian Afektif Kognitif
Esyenk, dan Allport yakin jika perilaku adalah produk sifat kepribadian yang relatif stabil. Namun Mischel merasa keberatan dengan asumsi ini. Risetnya malah membutnya percaya bahwa perilaku merupakan fungsi dan situasi. 
Paradoks Konsistensi
Mischel melihat bahwa semua orang baik psikolog atau orang awam yakin secara intutif bahwa perilaku manusia relatif konsisten (Paradoks Konsistensi), padahal bukti empiris menunjukkan keberagaman situasi. Banyak orang dan psikolog mendeskripsikan kejujuran, loyalitas agresifitas dan sifat-sifat lainnya adalah penentu perilaku. Mischel tidak sependapat dalam hal ini. Beberapa riset malah gagal mendukung paradoks konsistensi. Perilaku itu bergantung pada situasi, ada kalanya siswa yang jujur malah menyontek saat ujian, padahal dia tidak pernah mencuri atau suka berbohong.
Interaksi antara Situasi dan Kepribadian
Seiring berjalannya waktu, Mischel (1973, 2004) melihat bahwa manusia bukan wadah kosong tanpa sifat-sifat kepribadian. Dia mulai mengakui sebagian besar orang memiliki konsistensi tertentu dalam perilaku mereka, meski dia terus menekanakan bahwa situasi memiliki efek yang sangat penting pada perilaku. Perilaku disebabakan oleh sifat-sifat personal secara global saja, namun oleh persepsi orang terhadap dirinya pada situasi tertentu. Misalnya seorang lelaki yang biasanya malu di depan para gadis, dapat bersikap terbuka dan terang-terangan bila di antara laki-laki atau perempuan yang lebih tua. Jadi sebenarnya ekstrovert atau intrivert ?. Menurut Mischel kedua disposisi itu adalah miliknya tergantung kondisi dan situasinya.
Pandangan kondisional ini yakin bahwa perilaku dibentuk oleh disposisi pribadi dan proses kognitif-afektif tertentu. Jika teori sifat yakin disposisi global adalah penentu utama perilaku, maka Mischel yakin kepercayaan, nilai, tujuan, kognisi dan perasaan seseorang berinteraksi disposisi-disposisi itulah penentu utama perilaku.
Sistem Kepribadian Afektif Kognitif
Mischel dan Shoda yakin kalau sistem kepribadian afektif-kognitif yang disebut juga sistem pemroresan afektif-kognitif adalah penyebab keberagaman perilaku seseorang dalam situasi yang berbeda, keragaman perilaku seseorang dalam situasi yang berbeda walaupun sifatnya relatif stabil untuk waktu cukup lama. Variasi perilaku dapat dikonsepsikan sebagai : Jika A maka X namun jika B maka Y. Contohnya jika sesorang pria merasa tertekan isterinya, maka dia akan beraksi dengan agresi, Namun ketika variebel jika berubah, variabel maka juga berubah. Jika sang suami ditekan sang bos maka reaksinya adalah kepatuhan. Perilaku suami ini dengan stimulus sama (ditekan)  menghasilkan respon yang berbeda.
Prediksi Perilaku.
Prediksi perilaku dinyatakan sebagai berikut. Jika kepribadian merupakan sistem stabil yang terus memproses informasi situasi eksternal dan internal, maka ketika individu mengahadapi situasi berbeda, perilaku mereka bisa tetap atau berubah. Konsep ini menyatakan bahwa prediksi perilaku bersandar sepenuhnya kepada pengetahuan tentang bagaimana dan kapan beragam unit kognitif dan afektif diaktifkan. Unit afektif dan kognitif ini meliputi pengkodean, ekspektansi, keyakinan, kompetensi, rencana dan strategi pengaturan diri, konsekunesi dan tujuan.
Variabel-Variabel Situasi
Mischel yakin bahwa pengaruh relatif variabel-variabel situasi dan sifat pribadi dapat ditemukan dengan mengamati keseragaman dan keragaman respon seseorang pada situasi tertentu. Ketika pribadi yang berbeda bersikap dengan cara yang mirip, misalkan saat melihat film yang emosional, maka variabel situasi akan jauh lebih kuat dibandingkan dengan karakteristik pribadi. Di sisi lain kejadian yang sama menghasilkan respon yang berbeda, misalnya beberapa pekerja bisa saja mengundurkan diri, namun perbedaan individual akan mengarah kepada perilaku yang beragam tergantung kebutuhan akan pekerjaan. Orang akan membentuk perilakunya sesuai situasi, contohnya menunggu antrian di dokter yang membosankan akan ‘diakal-akali’ (kognitif) dengan mendengar musik atau main game agar lebih menyenangkan (afektif).
c.      Unit-Unit Afektif dan Kognitif
Tahun 1973 Mischel menemukan variebel kepribadian yang relatif stabil, tumpang tindih dan berinteraksi dengan situasi yang menentukan perilaku. Kelima variabel itu adalah strategi pengkodean, kompetensi dan starategi pengaturan diri, ekspektansi dan keyakinan, tujuan dan nilai, dan respon-respon afektif.
Strategi Pengkodean
Yaitu cara manusia mengkategorikan informasi yang diterimanya dari stimuli eksternal. Manusia menggunakan proses kognitif unutk mengubah stimuli menjadi konstruk kepribadian mereka; yaitu cara mereka memandang diri, orang lain dan dunia.
Contoh: seseorang mungkin bereaksi dengan amarah saat dihina, sementara orang lain malah mengabaikannya.
Beberapa kompetensi dan Strategi Pengaturan Diri
Keyakinan terhadap apa yang bisa dilakukan berkaitan erat dengan kompetensi (Mischel, 1990), mengacu pada susunan luas informasi yang diperoleh manusia. Mischel setuju dengan Bandura bahwa manusia tidak bisa memahami semua stimuli hanya dapat mengkontruksi secara selektif atau membangkitkan versi kita mengetahui mengenai dunia nyata.
Contoh: Seseorang mahasiswa yang berbakat mungkin percaya dia memiliki kompetensi bisa lulus, namun tak pernah tahu apa macam dan isi soalnya persis.
Bandura dan Mischel yakin manusia menggunakan self regulatory strategies unutk mengontrol perilaku melalui tujuan yang ditetapkannya sendiri (Self imposed goals) dan konsekunsi yang dibuatnya sendiri (self produce consecunces). Manusia tak perlu penghargaan eksternal atau hukuman untuk membentuk perilaku, mereka menentukan sendiri tujuan hidupnya dan menghargai usahanya sendiri atau mengkritik tindakannya sendiri (Fiest, Jess, & Fiest Gregory, 2008 terj.)
Ekspektansi dan Keyakinan
Pengetahuan mengenai prediksi kekuatan yang dimiliki terhadap keyakinan akan hasil dan situasi tertentu adalah prediktor perilaku yang lebih baik dari pada pengetahuan tentang kemampuan bertindak (Mischel, 2002).
Dari pengalamannya, manusia belajar mewujudkan perilaku tertentu yang mereka harapkan. Ketika tidak tahu apa yang harus dilakukan manusia akan cenderung melakukan sesuatu sesuai dengan pengaharapan pada pengalamannya di masa lalu.
Contohnya ketika mahasiswa yang tidak pernah mengikuti tes pasca sarjana pasti pernah mempersiapkan diri untuk tes yang lain; dia berharap bentuk teknik belajar yang sama berhasil saat ujian pasca sarjana yang belum berpengalaman.  Mischel menyebutnya dengan behaviour outcome expectancy.
Manusia juga sering menggunakan kerangka “jika”…. “Maka”. Jika saya mendekatinya dengan cara yang sebelumnya saya lakukan kepada orang lain, maka saya dengan cara itu berharap dia akan mau.
Mischel juga mengidentifikasikan jenis kedua ekspektansi, ekspekatansi terhadap hasil stimulus (Stmimulus-outcome expectancy), yang mengacu pada banyaknya kondisi stimulus yang mempengaruhi konsekuensi. Ekspektansi ini membantu memprediksi kejadian yang paling mungkin muncul apda situasi tertentu.
Contohnya seorang anak yang sudah dikondisikan mengaitkan rasa sakit dengan perawat di rumah sakit akan mulai menangis dan ketakutan saat melihat perawat mamandangnya.
Tujuan dan Nilai
Manusia bereaksi aktif terhadap situasi. Mereka menentukan tujuan, rencana untuk mencapainya. Contohnya dua oarang mahasiswa mungkin memiliki prestasi akademik yang sama, dan ekpektansi terhadap lulus kuliah sama besar, namun nilai yang dipegang berbeda, mahasiswa satu mangartikan berhasil dengan nilai masksimal, sedangkan mahasiswa yang lain mengartikan berhasil dengan mendapatkan pekerjaan setelah lulus.
Nilai, tujuan, minat, dan kompetensi adalah unit afektif kognitif yang paling stabil. Penyabab konsistennya adalah kadar kemunculan emosi. Contohnya seseorang bisa menempatkan nilai negatif pada makanan tertentu karena makanan itu berkaitan dengan rasa mual yang pernah dirasakannya dulu. Nilai patriotik yang tertanampun sama.
Respon-Respon Afektif
Respon afektif mencakup perasaan dan rekasi fisiologis lainnya.  Konsep kognitif tidak terpisah dari afektif, contohnya saat pengkodean orang akan menggunakan sisi kognitif dan afektif secara bersamaan. Contohnya “saya memandang saya sebagai orang yang baik dan saya bangga dengan itu”. Dengan cara yang sama kompetensi dan strategi untuk mengatasi masalah, keyakinan dan ekpektansi tujuan dan nilai seseorang semuanya diwarnai respon afektif (Mischel & Shoda, 1995 dalam Theories of Personality).

Reference
Feist Jess & Feist J. Gregory. Theories of Personalits. Terj. Santoso, Yudi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.